Rabu, 21 November 2018

Kilau Bifurkasi di Bumi Santri


Kilau Bifurkasi di Bumi Santri

“Pesantren menyajikan ulangan kehidupan yang setiap saat harus dijawab oleh para santri. Mereka harus memilih. Salah tak jadi masalah, poin terpenting adalah ‘proses’. Bukankah ‘pengalaman’ adalah guru yang terbaik dalam hidup?
Sesederhana ‘Ghosob atau tidak? Pacaran atau tidak? Mencuri atau tidak? Kabur atau tidak?’ Sampai seberat ‘Boyong atau tidak? Manut Kiyai atau tidak?’. Pertanyaan yang hanya bisa mereka jawab sendiri.”
***
Petala langit meredup. Alam semakin sayup. Swastamita[1] yang lelah, mulai berbaring di balik tilam merah. Suara qiro’ah menggema dari segala arah. Mengiringi langkah kaki para santriwan santriwati yang baru bubar mengaji. Berjalan memenuhi setiap sisi jalan.
Ada yang ngobrol ngalor ngidul, menghafal sesuatu, membaca buku atau sekedar mampir ke warung-warung makan setempat.
Anom tak henti-henti mengamati sekitar. Pemandangan yang ia hafal, namun tak pernah berhenti mencuri perhatiannya. Setiap hari. Sepanjang tahun.
Ada anak-anak gundul menjelma jajaran lampu taman, antrian kamar mandi yang mengular, juga aneka jenis sandangan yang mabur dari jemuran, lantas dibuat main kucing-kucingan. Dan seharusnya pemandangan-pemandangan itu bisa membuatnya tertawa. Sayangnya, kini semua itu tak ada artinya lagi. Berbeda dengan mata kanak-kanaknya dulu. Anom tak tahu apa yang kiranya hilang. Ada semacam ruang hampa yang menganga dalam dadanya, dan dia tak tahu cara memadamkannya. Mata yang sama, manusia yang sama, tapi pandangan yang sama sekali berbeda.
***
Hari ini, senja ini, genap 10 tahun Anom membusuk.
Dari atas sana ia mengamati segala hal. Hijau sawah yang membentang bagai permadani, hingga mobil di jalan raya yang hanya sebesar kotak korek api. Menghitung hampir setiap daun kering yang melayang, juga kekupu dan capung yang senantiasa menari pun terbang. Sepanjang sore. Mengapa gerangan semua ini diciptakan? Langit, pohon, awan, manusia, dan...hati?
Di tempat itu Anom mematung. Mendekap dengkul dan menyangga dagu. Dak beton gedung pesantren paling atas dengan pemandangan swastamita spektakuler yang seharusnya mendamaikan.
Dirinya ada di Bumi, tapi tidak demikian dengan pikirannya yang senantiasa mencari. Bertanya. Mengarungi segala macam dimensi yang melampaui seluruh realitas. Kemana hidupku akan berlabuh? Kapan perjalanan ini berakhir?
Ia rindu pada dirinya yang dulu. Anom dengan segala macam ketidakpahaman. Anom yang tidak terganggu dengan segala macam gejolak hidup yang menerpanya. Anom yang tidak benci air mata meski diolok-olok oleh teman-temannya. Anom yang tidak pernah kecewa pada Tuhannya. Anom yang tawadluk, khidmad guru dan rendah hati. Apa kabar dia sekarang?
Semesta semakin jingga. Diiringi ayat-ayat Allah yang Maha Mesra, namun belum dapat dipahami oleh insan lemah bernama Anom di Pesantren ini. Lihat bagaimana sekarang pikirannya yang sibuk mengelana. Menyelami labirin waktu yang berdebu. Dan, hei, coba lihat apa saja yang ia dapati: Anom siang ini.
***
Espektasi[2]. Barangkali itulah sebenar-benar candu. Psikotropika yang senantiasa memasung manusia dalam ilusi hingga masa kepunahannya kelak. Tak terkecuali Anom.
Hari itu dia telah membuktikan kepada dunia. Manusia kecil terbuang telah berhasil bangkit dari kematiannya. Bermetamorfosis melahirkan kekaguman, sorotan dan ribuan pujian. Menarik telak dua manusia arogan yang datang dari masa lalunya. Yang dulu membuangnya. Kini, dengan leluasa ia lemparkan lembar-lembar bercetak angka di wajah mereka yang merah padam, dan...
Braaak!!!... Ustadz Khan menggebrak meja tempatnya bermimpi.
Anom tergagap. Udara berebut masuk memenuhi paru-paru guna diangkut menuju ruang otak yang sedang pengap. Realitas menamparnya telak. Manusia malang!
“Kamu ini kerjanya tiduuur saja! Sudah kelas akhir, bentar lagi UN. Kalo gini terus mau jadi apa kamu, Le, le!” Di depan wajah kusut bermata merah itu, Ustadz Khan berceramah. Anak-anak lain tampak cekikikan menahan tawa. Ia diam tak peduli. Hanya bergumam.
UN nggak penting, Pak. Yang penting ilmunya manfaat
“Coba, Ustadz lihat catatanmu.”
Tangan ringkih itu merogoh laci meja dan menyerahkan buku tulis tebal. Lusuh tanpa sampul.
Pak Ustadz membolak-baliknya sebentar. Berisi tulisan cakar ayam yang ternyata adalah catatan gado-gado dari semua mata pelajaran dan sembarang bait-bait puisi.
“Ini apa, Le, le? Buku apa rujak?
Tempat sampah
“Kamu ini, ya, tiap hari kalo nggak tidur ya gaduh. Gituuu terus! Tobat, Nak, tobat! Sekolah kok ndak niat!”
Sejak kapan Ustadz Bisa baca niat murid-murid?
“Kasihan Orang tuamu yang bekerja keras buat kamu, kamunya malah begini!”
Kalimat itu berbunyi dengan nada mengolok. Hati Anom benar-benar meradang.
Apa? Orang tuaku? Memangnya Ustadz tahu apa? Giginya gemerutuk.
“Beliau guruku! Beliau guuku!” Anom berusaha mengingatkan dirinya sendiri. Menepis kalimat tadi.
Memang sulit hidup sebagai   Penentang arus. Betapa lelahnya ia hidup terisolasi tanpa ada yang memahami. Berjalan di antara manusia-manusia yang mengira matanya terbuka. Padahal buta. Bertahun-tahun hidup berhadapan dengan benteng-benteng batu. Mereka yang melihat dunia hanya sebatas hitam dan putih. Adakah dari mereka yang ma(mp)u mengerti, bahwa kebenaran ini berlapis? Bahwa kebenaran seringkali relatif?
Maka ia memilih diam. Tak ada cukup waktu untuk menabrakkan diri ke benteng batu.
Ini adalah hidupku!” Anom meneguhkan hati. “selebihnya hanyalah keberisikan. Tak perlu didengar.” 
Jauh di dalam sana, palung hati yang gulita, jiwa rapuhnya berteriak mencaci Semesta. Apa yang telah kau curi? Apa yang selama ini kucari?
Ia masih tak memahami apapun. Maka, menjejaklah pikirannya lebih jauh lagi; Anom Kecil
***
Bocah 7 tahun yang riang gembira. Hampir tidak pernah membuat masalah. Ia menyenangkan dan punya banyak teman, disukai banyak orang. Tapi, keresahan di otaknya mengklaim sesuatu. Ada keretakan di tembok rumahnya yang setiap hari semakin memanjang. Mengapa Ayahnya tak pernah pulang dan ibunya sering keluar malam? Mengapa orang-orang sering berkasak-kusuk ketika dirinya lewat? Mengapa ibunya jadi pendiam dan mudah marah? Mengapa setelah itu ayah dan ibunya tidak lagi tinggal serumah? Mengapa pada akhirnya ia harus tinggal dengan Pamannya? Kenapa Pamannya membawanya ke Pondok Pesantren?
Sekalipun sulit dimengerti, pikirannya berusaha untuk tetap menari di taman yang luas. Bermain dan tertawa, meski dengan teman-teman yang berbeda; imajinasi.
Ia dipaksa meninggalkan wajah lugu dan senyum tulusnya, sebelum kemudian retakan itu semakin kentara, memanjang, hingga akhirnya rumah mungilnya roboh.
Di hati kecilnya ia sebatang kara. Ayah ibunya telah tiada. Tertimbun reruntuhan tanya. Kenapa? Kenapa? dan Kenapa?
Nihil. Belum ada yang ia pahami dari hidupnya. Ayah dan ibunya, perjalanannya, hatinya. Dan ia terus mencari; Anom awal masuk Pesantren
***
Di tempat asing ini segalanya benar-benar berubah. 360 derajat terbalik dari segala yang Anom imajinasikan. Ia harus dengan senang hati dibully, disuruh ini itu, membayar pungli para senior dan kehilangan banyak hal. Meliputi kesabaran, kejernihan pikiran, baju, sarung, buku, bahkan celana dalam. Yang lebih gila, akibat mutasi sekolahnya, Anom harus mengulang kembali di kelas 2 Ibtida’iyyah.
Anom kecil mengaji setiap hari, dibangunkan setiap malam dan ia yakini segala yang gurunya titahkan. Tentang keberkahan, akhlaqul karimah dan kemanfaatan Ilmu. Ia lahir sebagai manusia yang baru. Menjalani segalanya dengan sepenuh hati. Mencintai Ilmu, mencintai ustadz dan kiyai, mencintai madrasah dan yang pasti juga mencintai pesantren. Tapi tidak dengan ayah ibunya.
Setiap mandi, tanpa disuruh, ia menyikat lantai dan dinding kamar mandi yang kotor, mencucikan piring dan baju kawan santri lainnya, menyapu halaman pesantren dan ndalem[3] Kiyai, serta segala macam hal yang menurut analisanya dapat mendatangkan keberkahan. Semacam trik berdimensi kuantum[4] yang tak kasat mata, namun begitu dahsyat hasilnya. Nilai yang cukup, makan tak kekurangan, buku tak pernah beli, sabun selalu ada yang memberi. Ini semua irasionalitas yang benar-benar masif[5]. Bahasa yang digunakan Allah untuk bicara kepadanya. Lewat apa yang disebut ‘keberkahan.
Meskipun pamannya tak pernah menjenguk, otak pun pas-pasan dan uang saku seadanya, setidaknya ia tetap bisa memberikan manfaat kepada orang lain. Perlahan, Anom menjadi renik yang melebur dengan Bumi tempatnya memijak.
Sejak saat itulah ia temukan rumus-rumus irasionalitas yang mengagumkan: Bumi semakin dikencingi semakin subur. Semakin seseorang merendah, semakin tampaklah kualitas manfaatnya. Dan dari sanalah kebiasaan-kebiasaannya muncul; bercelingak-celinguk di sepanjang jalanan Pesantren, mengamati setiap level kehidupan yang dilalui masing-masing santri. Ada yang masih terjerumus di bawah, ada pula yang sudah berjaya di atas. Anom merasa bercakap dengan Tuhannya melalui pemandangan yang pesantren sajikan. Miniatur kehidupan. Takdir yang bicara lewat banyak hal. Tenang, damai dan mengalir. Lalu ia akan menerka-nerka, “Ya Allah, ada di level berapa aku sekarang? Easy, normal atau Hard?” Hinnga akhirnya, seiring waktu yang kian membeku, percakapan itu semakin pudar. Pemandangan-pemandangan itu tinggal kehampaan tanpa makna. Tidak ada lagi percakapan, melainkan hanya kebiasaan.
Anom kini mengerti banyak hal. Rongga dalam sel-sel otaknya mulai terisi bersama dengan pemahaman baru. Ambisi baru. Sebuah pembuktian. Namun nyatanya, ia tak dapat membuktikan suatu apapun.
Semakin dewasa semakin banyak yang ia pikirkan. Pamannya tak mampu lagi mengirim uang. Maka melalui Kiyainya, ia mengajukan diri menjadi petugas kebersihan Madrasah, mengumpulkan gelas plastik dan kertas-kertas bekas untuk dijual atau apapun yang bisa menghasilkan rupiah untuk menambal kebutuhan. Tak lepas pula dari pikirannya bagaimana cara mendomplang nilai mata pelajaran, sampai tentang kebingungannya menyingkirkan virus maha dahsyat yang membabi buta bernama ‘wanita’.  Virus di atas segala macam virus.
Tak ada lagi waktu untuk menyimak korelasi antara takdir dan konsep-konsep keikhlasan, ilmu yang manfaat ataupun keberkahan. Semua jadi serba setengah-setengah.
Masa 7 tahun berlalu sekedip mata. Kenangan-kenangan penghuni hati kecilnya berunjuk rasa. Setitik pasir yang berteriak di Gurun Sahara. Namun Anom tak peduli. Kini, ia berada di titik jenuh yang maha keruh. Kecamuk hati yang bertentangan dengan nurani, moral dan akhlaq yang selama ini diajarkan Guru dan Kiyainya. Anom bosan berbuat baik. Bosan dimanfaatkan. Bosan hidup monoton. Ia ingin meledak. Merasakan sensasi tawa yang lepas, terbang bebas.
Hingga akhirnya tibalah ia….
; Anom yang jatuh
***
Benar apa yang pernah dikatakan guru fisikanya, Ustadz Ikhwan. Jatuh cinta berbanding lurus dengan gila. Sudah 2 tahun Anom gila. Hari itu adalah puncaknya. Penyakit pertama sekaligus paling berbahaya untuk ukuran seorang remaja yang baru saja lulus seleksi alam dari zaman MTs.zoikum.
***
Setelah 730 hari 12 jam lebih sekian detik mencintai dalam imajinasi, akhirnya siang ini ia punya nyali. Di laci bangku itu, ditinggalkannya secarik kertas. Titik koordinat hasil perhitungan dan pencarian konstelasi[6] bintang selama berhari-hari. Pengamatan berminggu-minggu. Bertanya kesana-kemari. Observasi berkali-kali. “Di mana kelas si Fulanah, itu? Di sebelah mana letak bangkunya? Deret dan baris ke berapa ?” Dan hari ini, telah ia temukan wanita pujaannya. Anjumil Hidayatul Firdaus. Seperti namanya yang berarti bintang petunjuk. Ia bersinar bagai Orion[7] yang terang benderang, cemerlang dan menenangkan. Anom menginginkannya.
Sore nanti, ketika giliran para santriwati berangkat ke madrasah, pesan itu akan terbuka. Ia membayangkan bagaimana rona wajah Sang Orion yang tersipu malu ketika membaca surat darinya.

Assalamu’alaikum, Ukhty, Anjumil Hidayatul Firdaus
Gemetar tanganku ketika menulis ini untukmu. Hati memaksa. Campur aduk rasanya, tapi setelah kupegang pena, hilanglah akalku entah kemana. Tak tahu apa yang mesti kukata dan bagaimana cara mengawalinya. Maafkan aku yang lancang ingin mengenalmu.
Kutunggu balasanmu. Laci bangku paling belakang di pojok kanan. Kelas Xc.
Wassalam,
Pengagum rahasiamu dari Alam Antah Berantah, Pesantren sebelah
Anom Ahmad

“Bagaimana jika para pengurus tahu?” Sebuah suara yang entah dari mana mengingatkan sesuatu.
“Persetan dengan mereka semua!” Anom tak peduli. Ia akan dapat jawabannya esok hari.
***
Anom segera kembali ke pesantren. Hatinya kini diamuk gelombang kegelisahan yang membuncah. Ngaji tak lancar, hafalan tak jalan, nasehat guru tak dihiraukan. Setiap malam mendengus rindu akan sesuatu yang justru bakal mengundang kehancurannya sendiri. Menghapus batas antara realitas dan ilusi. Ia benar-benar jatuh. Sedalam-dalam jatuh. Jatuh Cinta. Bukan lagi pada ilmu, melainkan Orion itu. Santriwati pesantren sebelah.
***
Madrasah masih sangat sepi. Anom cepat-cepat menyapu halaman, tak sabar menengok laci bangkunya. Segera setelah usai melaksanakan kewajibannya sebagai Penjaga madrasah, di ruang kelas, Anom merogoh laci mejanya.
Dan, deg…
Ia menemukan secarik kertas. Suratnya dibalas. “Subhanallah…..” Betapa girang hatinya yang kasmaran, diciuminya surat itu berkali-kali.
Anom duduk tenang. Membuka surat itu perlahan. Hatinya dag dig dug.

Wa’alaikumussalam, Akhy, Akang Anom yang baik budi
Lama sudah kudengar tentangmu melalui kawan-kawanku. Perkenalan hanyalah basa-basi, Kang. Aku tahu kamu mengharapkan lebih. Sebenarnya tak ingin kubalas suratmu itu. Aku hanya takut kamu tak akan berhenti mengganggu dan menanti balasanku. Namun, marilah kita pikir bersama. Pantaskah Adinda berkirim surat dengan seorang penyapu sekolah? Seorang pemungut sampah? Kamu mengirim surat pada orang yang salah, Kang.
Cukup sekian. Tak usah kita teruskan. Jangan undang kehancuranmu sendiri, Kang.
Wassalam,
Anjum

Langit seketika runtuh. Awan tak lagi putih, Matahari padam dan Rembulan terbakar. Apa yang dikiranya Orion selama ini tak lain adalah meteorit yang siap menubruk Bumi tempatnya berpijak.
Tumbukan besar meteorit Chicxulub[8] menghancurkan seluruh belahan dunia Anom. Meteorit raksasa cantik yang mulanya hanya melintas, lantas tanpa aba-aba meretas atmosfer perasaan dan berhasil memporak-porandakan hatinya. Hanya 1 detik setelah tumbukan, setiap rupa akal hancur, beberapa detik kemudian gelombang kejut membunuh segala macam ingatan di kepalanya, dan setelah 1 menit, ledakan meteorit itu mengeluarkan ejekta[9], awan cinta panas yang menyelimuti seluruh lapisan hati dan menaikkan suhu badan secara drastis. Gempa, super volcano, megatsunami, tornado, semuanya datang silih berganti. Memusnahkan seluruh konsep dan prinsip, termasuk ketawadlu’an, keikhlasan dan kesabarannya. Meteorit itu, penghancur nirwana yang mendistorsi pikiran Anom.
Di pagi buta ini, kiamatlah segala perasaannya. Segala macam cintanya.
Sejenak, Semesta menjeda eksistensinya demi menertawai kebodohan-kebodohan yang telah Anom lakukan. Dan debar-debar cinta di dadanya mendadak berubah gempa. Menjelma amarah pada dirinya sendiri. Ia ingin amnesia untuk selamanya. Saat itu juga.
“Betapa bodohnya aku!?
Surat itu telah berpindah tangan. Seseorang menyahutnya dari belakang. Anom terkejut bukan kepalang. Dua anak berbadan bongsor turut menertawakannya. Dan ia tak dapat berkutik. Mereka salah satu pengurus killer dari kelas xii.
Riwayat Anom usai hari ini. Oh, bukan. Detik ini!
***
Barangkali tiadanya rambut di kepala akan menguapkan segala macam pikiran yang sedang mendidih. Dan rumput-rumput liar di halaman dapat ia jadikan pelampiasan. Setiap siang hingga petang selama satu bulan, sambil membaca istighfar dengan lantang. Tak boleh putus. Konsep aneh yang bahkan telah Anom kenal jauh sebelum ini. Tanpa perlu melanggar peraturan apapun. Ia yang terbiasa mengamati sekarang ganti diamati. “Hei, lihat, itu Anom! Dia sekarang gundul! Kena takzir[10]. Tambah jelek, ya?”
Anom tak punya setitik pun kuasa untuk marah. Mereka benar. Anjum benar. Dirinyalah yang terlalu bodoh.
“Aku hanya penyapu sekolah! Pemungut sampah!” Anom mengingatkan dirinya berkali-kali.
Hingga pada suatu malam dirinya benar-benar berhenti mendengarkan kata hati. Meyakinkan diri bahwa tak ada yang salah dari semua ini. Dan berevolusilah ia menjadi manusia gila yang merayakan segalanya dengan tawa. Padahal hatinya mendemonstrasikan penolakan keras, “Ini semua tidak benar!!!”
Tak ada lagi mengaji, tak ada mencatat, tak ada hafalan, yang ada hanyalah tawa. Meski beralaskan derita lama. Anom yang barusan terlampau palsu. Polos oleh belenggu. Kini ia benar-benar merdeka.
Anom lepas landas. Terbang dengan bebas. Menutup telinga atas segala macam suara yang meraung-raung di bawahnya. Ya, bayangkanlah awan dengan ketenangan yang mengagumkan! Mengawang di ketinggian mematikan tanpa udara. Kosong dan hampa.
Demikianlah hidupnya berjalan. Dan ia tetap belum mendapatkan penjelasan apapun hingga hari ini. Senja ini ; Anom di atas dak beton gedung Pesantren
***
Suara adzan kian bertalu ke seluruh penjuru. Mengembalikan seluruh alam pikirnya kepada dunia nyata. Untuk yang kesekian kali, realitas menamparnya telak. Lebih telak.
Jalanan pesantren ramai oleh santriwan santriwati yang bergegas menuju masjid. Berpegang tasbih, berpeluk kitab suci. Sedangkan Anom, lihatlah ia yang masih mendekap lutut dengan mata berair. Belum ingin beranjak turun. Hati kecilnya meratap.
“Ya, Tuhan…
Wahai Allah…
Hamba lelah…”
“Menanyakan kebodohan Hamba sendiri….
Kemana diri Hamba yang dulu?”
“Hey, Anom, turun kau!!!” Suara bentakan terdengar dari bawah.
Di tangga, Kang Luqman, salah seorang Pengurus senior mencegatnya, “Buta, ya? Sudah maghrib ini!!!”
Anom tak menjawab, bergegas pergi. “Hey, tunggu! Nggak sopan sama pengurus, main nyelonong aja!” Belum genap 3 langkah ia berjalan, Kang Luqman memanggilnya lagi sambil menggerutu. “Maaf, Kang,” Anom tertunduk.
“Kenapa kamu ini? Nggak cocok sama guyonnya sehari-hari. Kaya orang bisu. Sakit gigi, ya? Habis nangis, kan, kau?” Pertanyaan itu menyeruak berbusa-busa.
Anom tertawa ringan, “Sekali-sekali, boleh, lah, Kang. Aku tak belajar jadi pendiam,” ekspresinya palsu.Ada apa, Kang?”
“Dapat salam dari Pak Kiyai. Katanya beliau kangen. Kamu disuruh sowan ke ndalem.
Anom terdiam. Iqomat sudah dikumandangkan.
***
Di ruang tamu dengan kursi-kursi empuk yang indah itu, Anom duduk. Hatinya berdebar-debar. Jikalau dulu gempa yang timbul ketika ia membuka surat dari Anjum adalah 6 skala richter, maka kali ini 2 kali lipatnya.
Setelah 25 menit menunggu, akhirnya dari balik gorden emas, Orang yang dinantikannya datang. Kiyainya. Gurunya. Beliau melangkah dengan wibawa yang umpama bunga baru mekar. Menyeruakkan aroma wangi nan menenangkan.
Anom menunduk. Segalanya terasa amat sakral malam ini.
“Assalamualaikum, Abi,” Lantas ia bersimpuh penuh khidmad seperti seorang putra yang baru pulang dari rantau. Disambutnya tangan yang penuh kelembutan itu. Diciumnya lama sekali. Dan tanpa terasa, air matanya membuncah bagai air bah yang menghancurkan tembok bendungan, diamuk gelora kerinduan. Tangisan seorang anak terbuang yang rindu akan kedamaian rumah.
“Maafkan segala kesalahan saya, Abi.
“Kemana Anom yang dulu pergi, Nak? Anom yang tawadlu’, yang manut dawuh guru, yang rajin? Kemana kamu, Le?
Anom tak menjawab, ia juga menanyakan hal yang sama 2 tahun terakhir. Dan belum ada jawaban yang ia temukan. 2 tahun lebih berdiri di persimpangan batin yang mengharuskannya memilih. Titik bifurkasi[11] itu. Berjalan lurus tapi gila. Atau berkelok-kelok dengan sedikit kewarasan dan tawa. Pilihan yang sulit. Oh, bukan pilihan, tapi buah simalakama.
Namun terkadang, di salah satu siklus waktu, keadaan pun dapat menjadi hakim atas kehidupan. Jalan yang kau pilih tak lagi berarti. Bifurkasi akan membawa manusia pada titik yang sama. Menjelma sesuatu yang membunuh tanpa rencana, tanpa pengertian. Maka tidak siapapun akan bisa berkutik darinya. Kau melambung tinggi, lalu dihempas lepas. Takdir menghancurkanmu sekali jadi.
“Saya tak tahu apa yang terjadi, Abi. Saya hilang akal…
“Anom, anakku, kau memang seorang santri. Tapi kau harus jadi guru dalam hidup, Nak. Setidaknya guru bagi dirimu sendiri. Soal dan kunci jawaban ada di tanganmu. Segalanya kembali kepadamu.”
Pertemuan malam itu berakhir dengan pelukan panjang. Kiyai dan santrinya. Memang benar Anom telah jatuh berkali-kali. Dalam jurang yang ia gali sendiri. Namun ia memilih bangkit dan menjadi pecinta sejati. Ya, itu dia kunci jawaban yang sudah ia siapkan untuk persoalannya. Anom pulang. Anom yang dulu baru saja kembali. Allah kembali bercakap dengannya. Lewat do’a dan segala rasa syukur.
***
Masa 10 tahun tidak mengaratkan esensi. Selama itu Anom membusuk di pesantren. Ya, membusuk. Atau katakanlah fermentasi, menjadi renik dan merubah segala sesuatu menjadi lain. Lahir dengan mimpi-mimpi baru. Perspektif[12] yang baru. Bukankah manusia senantiasa mengalami perubahan dalam hidupnya? Seindah dan seteratur apapun tatanan, akan tiba suatu masa ketika ia harus mengubrak-ngabrik segalanya. Mengalami pembaharuan.
***
Kebiasaan itu masih Anom jaga. Mengamati pemandangan yang setiap saat disajikan suasana Pesantren. Begitu banyak keunikan yang ia temui di sana. Takzir yang neko-neko, kebersamaan yang kental, budaya mengantri, sampai penyakit kulit yang selalu menghampiri.
Namun sudahkah mereka, para Santri Pesantren melihat kebiasaan dan keunikan mereka sendiri yang satu ini? Hal kecil yang tak pernah mereka sadari, padahal sangat berarti. Bifurkasi yang setiap saat membayangi. Pilihan-pilihan sulit yang setiap saat harus mereka hadapi. Berlipat-lipat dari manusia umumnya. Sesederhana ‘Ghosob[13] atau tidak? Pacaran atau tidak? Mencuri atau tidak? Kabur atau tidak?’ Sampai seberat ‘Boyong atau tidak? Manut Kiyai atau tidak?’. Pertanyaan yang hanya bisa mereka jawab sendiri.
Pesantren menyajikan ulangan yang setiap saat harus dijawab oleh para santri. Mereka harus memilih jawabannya. Salah tak jadi masalah, poin terpenting adalah ‘proses’. Bukankah ‘pengalaman’ adalah guru yang terbaik dalam hidup?
Benar jika hidup ini penuh ‘kejutan’. Tapi jika ada kata yang bisa menggambarkannya lebih, maka itu adalah pesantren. Kita tak bisa memandangnya dengan satu kaca mata kehidupan. Belum tentu yang rajin, yang lurus lakunya tidak akan jadi malas dan membelot. Begitupun sebaliknya. Yang terlihat buruk, malas, nakal, belum tentu hina di mata Tuhan. Allah Azza Wa Jall. Jurang yang dalam dapat menjadi gunung yang melejitkan, begitupun kehancuran bisa saja menjadi titk balik yang melambungkan. Ya, orang baik pasti punya masa lalu, dan orang buruk pasti punya masa depan. Tidak ada yang tahu.
***
“Anom, ada telepon buat kau!” Kang Luqman memanggil lantang.
“Yang bener, Kang? Tumben? Paman, ya?” Kang Luqman yang terburu-buru bergegas pergi. Tak menjawab.
Ponsel itu berpindah tangan. Anom memulai percakapan
“Halo, Assalamualaikum, siapa, ya?” Tak ada suara di sana. “Halo???”
“Ini Pakde, Le..” Suaranya gemetar.
“Oh, tumben Pakde telepon. Ada perlu apa, Pakde? Anom baik di sini. Keluarga di sana apa kabar?”
Le..?”
“Iya, Pakde?”
“Ibu dan Bapakmu...” Mendengarnya, perasaan Anom tak enak. Ia diam terpaku.
“Ibumu meninggal...”
Tak ada yang keluar. Anom mulai terisak. Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rooji’un
“Bapak di mana?”
“Bapakmu sedang dalam pencarian polisi.”
Butuh waktu beberapa detik baginya memahami kalimat yang barusan diucapkan pamannya. Sampai akhirnya yang terdengar hanya bunyi tut..tut..tut..
Panggilan itu berakhir.
Kini ia tahu apa yang telah hilang darinya, dari hidupnya. Jawaban dari keresahan-keresahan itu. Sesuatu yang kiranya tak dapat ia dapatkan kembali. Selamanya.
Malam itu hanya sesak yang tersisa. Isak tanpa suara. Tangis tanpa air mata.[]




[1] Matahari terbenam
[2] Harapan kesenangan yang tidak konstan, yang timbul dari gagasan tentang suatu hal di masa depan (Boeree:2005)
[3] Rumah kediaman Kiyai
[4] Tak terlihat tapi ada
[5] Sangat nyata, kukuh
[6] Rasi bintang
[7] Rasi bintang yang paling terkenal dan paling sering muncul di Angkasa, bisa dilihat dari seluruh belahan dunia
[8] Teori tumbukan asteroid raksasa yang menyebabkan peristiwa kepunahan Kapur-Tersier dan memusnahkan seluruh dinosaurus dan seluruh makhluk hidup yang ada pada zaman itu
[9] Awan panas yang tercipta akibat pecahan magma dan material vulkanik
[10] Istilah hukuman bagi santri di Pesantren yang mana ditentukan oleh pengurus pesantren
[11] Titik bifurkasi (bifurcation point) atau yang biasanya disebut "Titik percabangan dua" adalah fenomena dimana sebuah sistem terbagi kedalam dua kemungkinan perilaku (behavior) akibat perubahan kecil  pada satu parameter. Perubahan lebih lanjut akan mengakibatkan percabangan dua dalam interval regular, sampai pada akhirnya masuk ke kondisi Chaos. Runtuhnya sistem. http://cleoraraclsun.blogspot.com/2013/03/arti-titik-bifurkasi.html. Hematnya, tuntutan untuk memilih antara dua jalan yang sebenarnya diakibatkan oleh konflik kecil.
[12] Sudut pandang
[13] Meminjam barang tanpa izin kepada pemiliknya

4 komentar:

  1. Kasih orangtua, itukah yang selalu menjadikan hidup Anom hampa? Bahkan walau ia dikelilingi kereligian. -mbrebes mili-

    BalasHapus
  2. πŸ‘πŸ‘πŸ‘πŸ‘πŸ‘

    BalasHapus