Kilau Bifurkasi di Bumi Santri
“Pesantren menyajikan ulangan kehidupan yang setiap
saat harus dijawab oleh para santri. Mereka harus memilih. Salah tak jadi
masalah, poin terpenting adalah ‘proses’. Bukankah ‘pengalaman’ adalah guru
yang terbaik dalam hidup?
Sesederhana ‘Ghosob atau tidak? Pacaran atau
tidak? Mencuri atau tidak? Kabur atau tidak?’ Sampai seberat ‘Boyong
atau tidak? Manut Kiyai atau tidak?’. Pertanyaan yang hanya bisa mereka
jawab sendiri.”
***
Petala langit meredup. Alam semakin sayup. Swastamita[1] yang lelah, mulai
berbaring di balik
tilam
merah.
Suara
qiro’ah menggema dari segala arah. Mengiringi langkah kaki para
santriwan
santriwati yang baru
bubar
mengaji.
Berjalan
memenuhi
setiap
sisi
jalan.
Ada yang ngobrol
ngalor
ngidul, menghafal
sesuatu,
membaca buku atau
sekedar
mampir ke warung-warung makan setempat.
Anom tak henti-henti mengamati sekitar. Pemandangan yang ia hafal, namun tak pernah berhenti mencuri perhatiannya. Setiap
hari.
Sepanjang
tahun.
Ada anak-anak gundul menjelma jajaran lampu taman, antrian
kamar
mandi yang mengular, juga
aneka
jenis
sandangan yang mabur
dari
jemuran,
lantas dibuat main
kucing-kucingan. Dan seharusnya
pemandangan-pemandangan
itu bisa
membuatnya
tertawa.
Sayangnya, kini semua itu tak ada artinya lagi. Berbeda dengan mata
kanak-kanaknya dulu. Anom tak tahu apa yang kiranya hilang. Ada semacam ruang
hampa yang menganga dalam dadanya, dan dia tak tahu cara memadamkannya. Mata
yang sama, manusia yang sama, tapi pandangan yang sama sekali berbeda.
***
Hari ini, senja ini, genap 10 tahun
Anom
membusuk.
Dari atas sana ia mengamati segala hal. Hijau sawah yang membentang bagai permadani, hingga mobil di jalan raya yang hanya
sebesar kotak
korek api.
Menghitung
hampir setiap daun kering yang melayang, juga kekupu dan capung yang senantiasa
menari pun terbang.
Sepanjang sore. Mengapa gerangan semua
ini diciptakan? Langit, pohon, awan, manusia, dan...hati?
Di
tempat itu Anom mematung. Mendekap dengkul dan menyangga dagu. Dak beton gedung pesantren
paling atas dengan pemandangan swastamita spektakuler yang seharusnya
mendamaikan.
Dirinya
ada di Bumi, tapi tidak demikian dengan pikirannya yang senantiasa mencari.
Bertanya. Mengarungi segala macam dimensi yang melampaui seluruh realitas. Kemana hidupku akan berlabuh? Kapan
perjalanan ini berakhir?
Ia
rindu pada dirinya yang dulu. Anom dengan segala macam ketidakpahaman. Anom
yang tidak terganggu dengan segala macam gejolak hidup yang menerpanya. Anom
yang tidak benci air mata meski diolok-olok oleh teman-temannya. Anom yang
tidak pernah kecewa pada Tuhannya. Anom yang tawadluk, khidmad guru dan rendah
hati. Apa kabar dia sekarang?
Semesta semakin jingga. Diiringi ayat-ayat Allah yang Maha
Mesra,
namun
belum
dapat
dipahami
oleh
insan lemah bernama Anom di Pesantren ini. Lihat
bagaimana sekarang pikirannya yang sibuk mengelana. Menyelami labirin waktu
yang berdebu. Dan, hei, coba lihat apa saja yang ia dapati: Anom siang ini.
***
Espektasi[2].
Barangkali itulah sebenar-benar candu. Psikotropika
yang senantiasa memasung manusia dalam ilusi hingga masa kepunahannya kelak.
Tak terkecuali Anom.
Hari
itu dia telah membuktikan kepada dunia. Manusia kecil terbuang telah berhasil
bangkit dari kematiannya. Bermetamorfosis melahirkan kekaguman, sorotan dan
ribuan pujian. Menarik telak dua manusia arogan yang datang dari masa lalunya.
Yang dulu membuangnya. Kini, dengan leluasa ia lemparkan lembar-lembar bercetak
angka di wajah mereka yang merah padam, dan...
Braaak!!!...
Ustadz Khan menggebrak meja tempatnya bermimpi.
Anom
tergagap. Udara berebut masuk memenuhi paru-paru guna diangkut menuju ruang
otak yang sedang pengap. Realitas menamparnya telak. Manusia malang!
“Kamu
ini kerjanya tiduuur saja!
Sudah kelas akhir, bentar lagi UN. Kalo gini terus mau jadi apa kamu, Le, le!” Di depan wajah kusut bermata merah itu, Ustadz Khan
berceramah. Anak-anak lain tampak cekikikan menahan tawa. Ia diam tak peduli. Hanya
bergumam.
UN nggak penting, Pak. Yang penting
ilmunya manfaat
“Coba,
Ustadz lihat catatanmu.”
Tangan
ringkih itu merogoh laci meja dan menyerahkan buku tulis tebal. Lusuh tanpa
sampul.
Pak
Ustadz membolak-baliknya sebentar. Berisi tulisan cakar ayam yang ternyata
adalah catatan gado-gado dari semua mata pelajaran dan sembarang bait-bait
puisi.
“Ini
apa, Le, le? Buku apa rujak?
Tempat sampah
“Kamu
ini, ya, tiap hari kalo nggak tidur ya gaduh. Gituuu terus! Tobat, Nak, tobat!
Sekolah kok ndak niat!”
Sejak kapan Ustadz Bisa baca niat
murid-murid?
“Kasihan
Orang tuamu yang bekerja keras buat kamu, kamunya malah begini!”
Kalimat
itu berbunyi dengan nada mengolok. Hati Anom benar-benar meradang.
Apa? Orang tuaku? Memangnya Ustadz
tahu apa? Giginya gemerutuk.
“Beliau guruku! Beliau guuku!”
Anom berusaha mengingatkan dirinya sendiri. Menepis kalimat tadi.
Memang sulit hidup sebagai Penentang arus. Betapa lelahnya ia hidup terisolasi tanpa ada yang memahami. Berjalan di antara
manusia-manusia yang mengira
matanya
terbuka.
Padahal
buta.
Bertahun-tahun
hidup
berhadapan
dengan benteng-benteng
batu.
Mereka yang melihat
dunia hanya sebatas hitam dan putih. Adakah dari mereka yang ma(mp)u
mengerti, bahwa
kebenaran
ini
berlapis?
Bahwa
kebenaran
seringkali
relatif?
Maka ia memilih diam. Tak
ada
cukup
waktu
untuk
menabrakkan
diri
ke
benteng
batu.
“Ini adalah hidupku!” Anom meneguhkan hati. “selebihnya hanyalah keberisikan.
Tak
perlu
didengar.”
Jauh
di dalam sana, palung hati yang gulita, jiwa rapuhnya berteriak mencaci Semesta.
Apa yang telah kau curi? Apa yang selama
ini kucari?
Ia
masih tak memahami apapun. Maka, menjejaklah pikirannya lebih jauh lagi; Anom Kecil
***
Bocah
7
tahun yang riang gembira. Hampir tidak pernah membuat masalah. Ia menyenangkan
dan punya banyak teman, disukai banyak orang. Tapi, keresahan di otaknya
mengklaim sesuatu. Ada keretakan di tembok rumahnya yang setiap hari semakin memanjang. Mengapa Ayahnya tak pernah
pulang dan ibunya sering keluar malam? Mengapa orang-orang sering
berkasak-kusuk ketika dirinya lewat? Mengapa ibunya jadi pendiam dan mudah
marah? Mengapa setelah itu ayah dan ibunya tidak lagi tinggal serumah? Mengapa
pada akhirnya ia harus tinggal dengan Pamannya? Kenapa Pamannya membawanya ke Pondok Pesantren?
Sekalipun
sulit dimengerti, pikirannya berusaha untuk tetap menari di taman yang luas.
Bermain dan tertawa, meski dengan teman-teman yang berbeda; imajinasi.
Ia
dipaksa meninggalkan wajah lugu dan senyum tulusnya, sebelum kemudian retakan
itu semakin kentara, memanjang,
hingga akhirnya rumah mungilnya roboh.
Di
hati kecilnya ia sebatang kara. Ayah ibunya telah tiada. Tertimbun reruntuhan tanya. Kenapa? Kenapa? dan Kenapa?
Nihil. Belum ada yang ia pahami dari hidupnya. Ayah dan ibunya, perjalanannya, hatinya. Dan ia terus mencari; Anom
awal
masuk
Pesantren
***
Di tempat asing ini segalanya benar-benar berubah. 360 derajat terbalik dari segala yang Anom imajinasikan. Ia harus dengan senang hati dibully, disuruh ini itu, membayar pungli para senior dan kehilangan banyak hal. Meliputi kesabaran,
kejernihan pikiran, baju, sarung, buku, bahkan celana dalam. Yang lebih gila, akibat mutasi sekolahnya, Anom harus mengulang kembali di kelas 2 Ibtida’iyyah.
Anom kecil mengaji setiap hari, dibangunkan setiap malam dan ia yakini segala yang gurunya titahkan. Tentang keberkahan, akhlaqul karimah dan kemanfaatan Ilmu. Ia lahir sebagai manusia yang baru. Menjalani segalanya dengan sepenuh hati. Mencintai Ilmu, mencintai ustadz dan kiyai, mencintai madrasah dan yang pasti juga mencintai pesantren. Tapi tidak dengan ayah ibunya.
Setiap mandi, tanpa disuruh, ia menyikat lantai dan dinding kamar mandi yang kotor, mencucikan piring dan baju kawan santri lainnya, menyapu halaman pesantren dan ndalem[3] Kiyai, serta segala macam hal yang menurut analisanya dapat mendatangkan keberkahan. Semacam trik berdimensi kuantum[4] yang tak kasat mata, namun begitu dahsyat hasilnya. Nilai yang cukup, makan tak kekurangan, buku tak pernah beli, sabun selalu ada yang memberi. Ini semua irasionalitas yang benar-benar masif[5]. Bahasa yang digunakan Allah untuk bicara kepadanya. Lewat apa yang disebut ‘keberkahan’.
Meskipun pamannya tak pernah menjenguk, otak pun
pas-pasan dan uang saku seadanya, setidaknya ia tetap bisa memberikan manfaat kepada orang lain.
Perlahan, Anom menjadi renik yang melebur dengan Bumi tempatnya memijak.
Sejak saat itulah ia temukan rumus-rumus irasionalitas yang mengagumkan: Bumi
semakin
dikencingi
semakin
subur. Semakin
seseorang
merendah,
semakin tampaklah kualitas
manfaatnya.
Dan dari
sanalah
kebiasaan-kebiasaannya
muncul; bercelingak-celinguk
di sepanjang jalanan Pesantren, mengamati setiap level kehidupan yang dilalui
masing-masing
santri. Ada yang masih
terjerumus di bawah, ada
pula yang sudah berjaya di atas.
Anom
merasa
bercakap
dengan
Tuhannya
melalui pemandangan yang pesantren sajikan.
Miniatur kehidupan.
Takdir yang bicara lewat
banyak hal. Tenang, damai dan mengalir. Lalu ia akan menerka-nerka, “Ya Allah, ada di level berapa
aku
sekarang?
Easy, normal
atau Hard?” Hinnga
akhirnya, seiring waktu yang
kian membeku, percakapan itu semakin pudar. Pemandangan-pemandangan
itu
tinggal
kehampaan
tanpa
makna.
Tidak
ada
lagi
percakapan, melainkan hanya kebiasaan.
Anom kini mengerti banyak hal. Rongga dalam sel-sel otaknya mulai terisi bersama dengan pemahaman baru. Ambisi baru. Sebuah pembuktian.
Namun nyatanya, ia tak dapat membuktikan suatu apapun.
Semakin dewasa semakin banyak yang ia pikirkan. Pamannya tak mampu lagi mengirim uang. Maka
melalui Kiyainya, ia
mengajukan diri menjadi petugas kebersihan Madrasah, mengumpulkan gelas plastik
dan kertas-kertas bekas untuk dijual atau apapun yang bisa menghasilkan rupiah
untuk menambal kebutuhan. Tak lepas pula dari pikirannya bagaimana cara
mendomplang
nilai
mata
pelajaran,
sampai
tentang
kebingungannya
menyingkirkan virus maha dahsyat yang membabi
buta
bernama ‘wanita’. Virus di atas
segala
macam virus.
Tak ada lagi waktu untuk menyimak korelasi antara takdir dan konsep-konsep keikhlasan, ilmu yang manfaat
ataupun
keberkahan.
Semua
jadi
serba
setengah-setengah.
Masa 7 tahun berlalu sekedip mata. Kenangan-kenangan
penghuni
hati
kecilnya
berunjuk rasa.
Setitik
pasir yang berteriak di
Gurun Sahara. Namun Anom tak peduli.
Kini, ia berada di titik jenuh yang maha keruh. Kecamuk hati yang bertentangan dengan nurani,
moral dan akhlaq yang selama ini diajarkan Guru dan Kiyainya. Anom bosan berbuat baik. Bosan dimanfaatkan. Bosan
hidup monoton. Ia ingin meledak. Merasakan sensasi tawa yang
lepas, terbang bebas.
Hingga akhirnya tibalah ia….
; Anom
yang jatuh
***
Benar apa yang pernah dikatakan guru fisikanya, Ustadz Ikhwan. Jatuh cinta berbanding
lurus dengan gila. Sudah 2 tahun Anom gila. Hari itu adalah puncaknya.
Penyakit pertama sekaligus paling berbahaya untuk ukuran seorang remaja yang
baru saja lulus seleksi alam dari zaman MTs.zoikum.
***
Setelah 730 hari 12 jam lebih sekian detik mencintai dalam imajinasi,
akhirnya siang ini ia punya nyali. Di laci bangku itu, ditinggalkannya secarik kertas. Titik koordinat hasil perhitungan dan pencarian konstelasi[6] bintang selama berhari-hari. Pengamatan berminggu-minggu. Bertanya kesana-kemari. Observasi berkali-kali. “Di mana kelas si Fulanah, itu? Di
sebelah mana letak
bangkunya? Deret dan baris ke berapa ?” Dan hari ini, telah ia temukan wanita pujaannya. Anjumil Hidayatul Firdaus. Seperti namanya yang berarti bintang petunjuk. Ia
bersinar bagai Orion[7] yang terang benderang, cemerlang dan menenangkan. Anom menginginkannya.
Sore nanti, ketika giliran para santriwati berangkat ke madrasah, pesan itu akan terbuka. Ia membayangkan bagaimana rona wajah Sang Orion yang tersipu malu ketika membaca surat darinya.
Assalamu’alaikum, Ukhty, Anjumil Hidayatul Firdaus
Gemetar tanganku ketika menulis ini untukmu. Hati memaksa. Campur aduk rasanya, tapi setelah kupegang pena, hilanglah akalku entah kemana. Tak tahu apa yang mesti kukata dan bagaimana cara mengawalinya. Maafkan aku yang lancang ingin mengenalmu.
Kutunggu balasanmu. Laci bangku paling belakang
di pojok kanan. Kelas Xc.
Wassalam,
Pengagum rahasiamu dari Alam Antah Berantah,
Pesantren sebelah
Anom Ahmad
“Bagaimana jika para pengurus tahu?” Sebuah suara yang entah
dari mana mengingatkan sesuatu.
“Persetan dengan mereka semua!” Anom tak peduli. Ia akan dapat jawabannya esok hari.
***
Anom segera kembali ke
pesantren. Hatinya kini diamuk
gelombang kegelisahan yang membuncah. Ngaji tak lancar, hafalan tak jalan,
nasehat guru tak dihiraukan. Setiap malam mendengus rindu
akan sesuatu yang justru bakal mengundang kehancurannya
sendiri. Menghapus batas antara realitas dan ilusi. Ia benar-benar jatuh. Sedalam-dalam jatuh. Jatuh Cinta. Bukan lagi pada ilmu,
melainkan Orion itu. Santriwati pesantren sebelah.
***
Madrasah masih sangat sepi. Anom cepat-cepat menyapu halaman, tak sabar
menengok laci bangkunya. Segera setelah usai
melaksanakan kewajibannya sebagai Penjaga madrasah, di ruang kelas, Anom
merogoh laci mejanya.
Dan, deg…
Ia menemukan secarik
kertas. Suratnya dibalas. “Subhanallah…..” Betapa girang hatinya yang
kasmaran, diciuminya surat itu berkali-kali.
Anom duduk tenang. Membuka
surat itu perlahan. Hatinya dag dig dug.
Wa’alaikumussalam, Akhy,
Akang Anom yang baik budi
Lama sudah kudengar tentangmu melalui kawan-kawanku. Perkenalan
hanyalah basa-basi, Kang. Aku tahu kamu mengharapkan lebih. Sebenarnya tak ingin kubalas suratmu itu. Aku hanya
takut kamu tak akan berhenti mengganggu dan menanti
balasanku. Namun, marilah kita pikir bersama. Pantaskah Adinda berkirim surat
dengan seorang penyapu sekolah? Seorang pemungut sampah? Kamu mengirim surat
pada orang yang salah, Kang.
Cukup sekian. Tak usah kita teruskan. Jangan undang
kehancuranmu sendiri, Kang.
Wassalam,
Anjum
Langit seketika runtuh. Awan tak lagi putih,
Matahari padam dan Rembulan terbakar. Apa yang
dikiranya Orion selama ini tak lain adalah meteorit yang siap menubruk Bumi tempatnya berpijak.
Tumbukan besar meteorit Chicxulub[8]
menghancurkan seluruh belahan dunia Anom. Meteorit raksasa cantik yang mulanya hanya
melintas, lantas tanpa aba-aba meretas atmosfer perasaan dan berhasil
memporak-porandakan hatinya. Hanya 1 detik setelah tumbukan, setiap rupa akal
hancur, beberapa detik kemudian gelombang kejut membunuh segala macam ingatan
di kepalanya, dan setelah 1 menit, ledakan meteorit itu mengeluarkan ejekta[9],
awan cinta panas yang menyelimuti seluruh lapisan hati dan menaikkan suhu badan
secara drastis. Gempa, super volcano, megatsunami, tornado, semuanya datang silih berganti. Memusnahkan seluruh konsep dan prinsip, termasuk
ketawadlu’an, keikhlasan dan kesabarannya. Meteorit itu, penghancur nirwana yang mendistorsi pikiran Anom.
Di pagi buta ini, kiamatlah
segala perasaannya. Segala macam cintanya.
Sejenak, Semesta menjeda
eksistensinya demi menertawai kebodohan-kebodohan
yang telah Anom lakukan. Dan debar-debar cinta di dadanya mendadak berubah
gempa. Menjelma amarah pada dirinya sendiri. Ia ingin amnesia untuk selamanya. Saat itu juga.
“Betapa bodohnya aku!?”
Surat itu telah berpindah
tangan. Seseorang menyahutnya dari
belakang. Anom terkejut bukan
kepalang. Dua anak berbadan bongsor
turut menertawakannya. Dan ia tak dapat berkutik. Mereka
salah satu pengurus killer dari kelas xii.
Riwayat Anom usai hari ini.
Oh, bukan. Detik ini!
***
Barangkali tiadanya rambut
di kepala akan menguapkan segala macam pikiran yang sedang
mendidih. Dan rumput-rumput liar di halaman dapat ia jadikan pelampiasan. Setiap siang hingga petang
selama satu bulan, sambil membaca istighfar dengan lantang. Tak boleh putus. Konsep aneh yang bahkan telah Anom
kenal jauh sebelum ini. Tanpa perlu melanggar peraturan apapun. Ia yang terbiasa mengamati sekarang ganti diamati. “Hei,
lihat, itu Anom! Dia sekarang gundul! Kena takzir[10].
Tambah jelek,
ya?”
Anom tak punya setitik pun
kuasa untuk marah. Mereka benar. Anjum benar. Dirinyalah yang terlalu bodoh.
“Aku hanya penyapu sekolah!
Pemungut
sampah!” Anom mengingatkan dirinya
berkali-kali.
Hingga pada suatu malam
dirinya benar-benar berhenti mendengarkan kata hati. Meyakinkan diri bahwa tak ada yang salah dari semua
ini. Dan berevolusilah ia menjadi manusia gila yang
merayakan segalanya dengan tawa. Padahal hatinya mendemonstrasikan penolakan keras, “Ini semua tidak
benar!!!”
Tak ada lagi mengaji, tak
ada mencatat, tak ada hafalan, yang ada hanyalah tawa. Meski
beralaskan derita lama. Anom yang barusan terlampau palsu. Polos oleh belenggu. Kini
ia benar-benar merdeka.
Anom lepas landas. Terbang dengan bebas. Menutup telinga atas segala
macam suara yang meraung-raung di bawahnya. Ya, bayangkanlah awan dengan
ketenangan yang mengagumkan! Mengawang di ketinggian mematikan tanpa udara. Kosong dan hampa.
Demikianlah hidupnya
berjalan. Dan ia tetap belum mendapatkan
penjelasan apapun hingga hari ini. Senja ini ; Anom di atas dak beton gedung
Pesantren
***
Suara adzan kian bertalu ke
seluruh penjuru. Mengembalikan seluruh alam pikirnya kepada dunia nyata. Untuk
yang kesekian kali, realitas menamparnya telak. Lebih telak.
Jalanan pesantren ramai
oleh santriwan santriwati yang bergegas menuju masjid. Berpegang tasbih, berpeluk kitab suci. Sedangkan Anom,
lihatlah ia yang masih mendekap lutut
dengan mata berair. Belum ingin beranjak turun. Hati kecilnya meratap.
“Ya, Tuhan…
Wahai Allah…
Hamba lelah…”
“Menanyakan kebodohan Hamba sendiri….
Kemana diri Hamba yang dulu?”
“Hey, Anom, turun kau!!!”
Suara bentakan terdengar dari bawah.
Di tangga, Kang Luqman, salah
seorang Pengurus senior mencegatnya, “Buta, ya? Sudah maghrib ini!!!”
Anom tak menjawab, bergegas
pergi. “Hey, tunggu! Nggak sopan sama pengurus, main
nyelonong aja!” Belum genap 3 langkah ia berjalan, Kang Luqman memanggilnya lagi sambil menggerutu. “Maaf,
Kang,” Anom tertunduk.
“Kenapa kamu ini? Nggak
cocok sama guyonnya sehari-hari. Kaya orang bisu. Sakit gigi,
ya? Habis nangis, kan, kau?” Pertanyaan itu menyeruak berbusa-busa.
Anom tertawa ringan, “Sekali-sekali, boleh, lah, Kang. Aku
tak belajar jadi pendiam,” ekspresinya palsu. “Ada apa, Kang?”
“Dapat salam dari Pak
Kiyai. Katanya beliau kangen. Kamu disuruh
sowan ke ndalem.”
Anom terdiam. Iqomat
sudah dikumandangkan.
***
Di ruang tamu dengan
kursi-kursi empuk yang indah itu, Anom duduk. Hatinya berdebar-debar. Jikalau dulu gempa yang timbul
ketika ia membuka surat dari Anjum adalah 6 skala richter,
maka kali ini 2 kali lipatnya.
Setelah 25 menit menunggu, akhirnya dari balik gorden emas, Orang yang dinantikannya datang. Kiyainya. Gurunya.
Beliau melangkah dengan wibawa yang
umpama bunga baru mekar. Menyeruakkan
aroma wangi nan menenangkan.
Anom menunduk. Segalanya terasa amat sakral malam ini.
“Assalamualaikum, Abi,”
Lantas ia bersimpuh penuh khidmad seperti seorang putra yang baru pulang dari rantau. Disambutnya tangan yang
penuh kelembutan itu. Diciumnya lama sekali. Dan tanpa terasa, air matanya membuncah bagai air bah yang menghancurkan tembok bendungan,
diamuk gelora kerinduan. Tangisan seorang anak terbuang yang rindu akan
kedamaian rumah.
“Maafkan segala kesalahan saya, Abi.”
“Kemana Anom yang dulu
pergi, Nak? Anom
yang tawadlu’, yang manut dawuh guru, yang rajin? Kemana kamu, Le?”
Anom tak menjawab, ia juga menanyakan hal yang
sama 2 tahun terakhir. Dan belum ada jawaban yang ia
temukan. 2 tahun lebih berdiri di persimpangan batin yang
mengharuskannya memilih. Titik bifurkasi[11] itu.
Berjalan lurus tapi gila. Atau berkelok-kelok dengan sedikit kewarasan dan
tawa. Pilihan yang sulit. Oh, bukan pilihan, tapi buah simalakama.
Namun
terkadang, di salah satu siklus waktu, keadaan pun dapat menjadi hakim atas
kehidupan. Jalan yang kau pilih tak lagi berarti. Bifurkasi akan membawa manusia pada titik yang sama. Menjelma
sesuatu yang membunuh tanpa rencana, tanpa pengertian. Maka tidak siapapun akan
bisa berkutik darinya. Kau melambung tinggi, lalu dihempas lepas. Takdir
menghancurkanmu sekali jadi.
“Saya tak tahu apa yang
terjadi, Abi. Saya hilang akal…”
“Anom, anakku, kau memang seorang santri. Tapi kau
harus jadi guru dalam hidup, Nak. Setidaknya guru bagi dirimu sendiri. Soal dan
kunci jawaban ada di tanganmu. Segalanya kembali kepadamu.”
Pertemuan malam itu berakhir dengan pelukan
panjang. Kiyai dan santrinya. Memang benar Anom telah jatuh berkali-kali. Dalam jurang yang ia gali
sendiri. Namun ia memilih bangkit dan menjadi pecinta sejati. Ya, itu dia kunci jawaban
yang sudah ia siapkan untuk
persoalannya. Anom pulang. Anom yang
dulu baru saja kembali. Allah kembali bercakap dengannya. Lewat do’a dan segala
rasa
syukur.
***
Masa 10 tahun tidak mengaratkan esensi. Selama itu
Anom membusuk di pesantren. Ya, membusuk. Atau katakanlah fermentasi, menjadi
renik dan merubah segala sesuatu menjadi lain. Lahir dengan mimpi-mimpi
baru. Perspektif[12]
yang baru. Bukankah manusia senantiasa mengalami perubahan dalam hidupnya?
Seindah dan seteratur apapun tatanan, akan tiba suatu masa ketika ia harus
mengubrak-ngabrik segalanya. Mengalami pembaharuan.
***
Kebiasaan itu masih Anom jaga. Mengamati
pemandangan yang setiap saat disajikan suasana Pesantren. Begitu banyak
keunikan yang ia temui di sana. Takzir yang neko-neko, kebersamaan yang kental, budaya mengantri, sampai
penyakit kulit yang selalu menghampiri.
Namun sudahkah mereka, para Santri Pesantren
melihat kebiasaan dan keunikan mereka sendiri yang satu ini? Hal kecil yang tak
pernah mereka sadari, padahal sangat berarti. Bifurkasi yang setiap saat
membayangi. Pilihan-pilihan sulit yang setiap saat harus mereka hadapi. Berlipat-lipat
dari manusia umumnya. Sesederhana ‘Ghosob[13]
atau tidak? Pacaran atau tidak? Mencuri atau tidak? Kabur atau tidak?’
Sampai seberat ‘Boyong atau tidak? Manut Kiyai atau tidak?’. Pertanyaan
yang hanya bisa mereka jawab sendiri.
Pesantren menyajikan ulangan yang setiap saat harus
dijawab oleh para santri. Mereka harus memilih jawabannya. Salah tak jadi
masalah, poin terpenting adalah ‘proses’. Bukankah ‘pengalaman’ adalah guru
yang terbaik dalam hidup?
Benar jika hidup ini penuh ‘kejutan’. Tapi jika ada
kata yang bisa menggambarkannya lebih, maka itu adalah pesantren. Kita tak bisa memandangnya dengan
satu kaca mata kehidupan. Belum tentu yang rajin, yang lurus lakunya tidak akan jadi malas dan membelot. Begitupun
sebaliknya. Yang terlihat buruk, malas, nakal, belum
tentu hina di mata Tuhan. Allah Azza Wa Jall. Jurang yang dalam dapat
menjadi gunung yang melejitkan, begitupun kehancuran bisa saja menjadi titk
balik yang melambungkan. Ya, orang baik pasti punya masa lalu, dan orang buruk
pasti punya masa depan. Tidak ada yang tahu.
***
“Anom, ada telepon buat kau!” Kang Luqman memanggil
lantang.
“Yang bener, Kang? Tumben? Paman, ya?” Kang Luqman
yang terburu-buru bergegas pergi. Tak menjawab.
Ponsel itu berpindah tangan. Anom memulai
percakapan
“Halo, Assalamualaikum, siapa, ya?” Tak ada
suara di sana. “Halo???”
“Ini Pakde, Le..” Suaranya gemetar.
“Oh, tumben Pakde telepon. Ada perlu apa, Pakde? Anom baik di sini. Keluarga di sana apa kabar?”
“Le..?”
“Iya, Pakde?”
“Ibu dan Bapakmu...” Mendengarnya, perasaan Anom
tak enak. Ia diam terpaku.
“Ibumu meninggal...”
Tak ada yang keluar. Anom mulai terisak. Innalillahi Wa Inna
Ilaihi Rooji’un
“Bapak di mana?”
“Bapakmu sedang dalam pencarian polisi.”
Butuh waktu beberapa detik baginya memahami kalimat
yang barusan diucapkan
pamannya. Sampai akhirnya yang terdengar hanya bunyi tut..tut..tut..
Panggilan itu berakhir.
Kini ia tahu apa yang telah hilang darinya, dari
hidupnya. Jawaban dari keresahan-keresahan itu. Sesuatu yang kiranya tak dapat ia
dapatkan kembali. Selamanya.
Malam itu hanya sesak yang tersisa. Isak tanpa
suara. Tangis tanpa air mata.[]
[1] Matahari terbenam
[2] Harapan kesenangan yang tidak konstan, yang timbul
dari gagasan tentang suatu hal di masa depan (Boeree:2005)
[3] Rumah kediaman Kiyai
[4] Tak terlihat tapi ada
[5] Sangat nyata, kukuh
[6] Rasi bintang
[7] Rasi bintang yang paling terkenal dan paling sering muncul di Angkasa, bisa dilihat dari seluruh belahan dunia
[8] Teori tumbukan asteroid raksasa yang menyebabkan
peristiwa kepunahan Kapur-Tersier dan memusnahkan seluruh dinosaurus dan seluruh
makhluk hidup yang ada pada zaman itu
[9] Awan panas yang tercipta akibat pecahan magma dan
material vulkanik
[10] Istilah hukuman bagi santri di Pesantren yang mana
ditentukan oleh pengurus pesantren
[11] Titik bifurkasi (bifurcation point) atau yang biasanya
disebut "Titik percabangan dua" adalah fenomena dimana sebuah sistem
terbagi kedalam dua kemungkinan perilaku (behavior) akibat perubahan kecil pada satu parameter. Perubahan lebih lanjut
akan mengakibatkan percabangan dua dalam interval regular, sampai pada akhirnya
masuk ke kondisi Chaos. Runtuhnya sistem. http://cleoraraclsun.blogspot.com/2013/03/arti-titik-bifurkasi.html. Hematnya, tuntutan untuk memilih antara dua jalan
yang sebenarnya diakibatkan oleh konflik kecil.
[12] Sudut pandang
[13] Meminjam barang tanpa izin kepada pemiliknya
Saya sangat suka. Josss
BalasHapusKasih orangtua, itukah yang selalu menjadikan hidup Anom hampa? Bahkan walau ia dikelilingi kereligian. -mbrebes mili-
BalasHapusπππππ
BalasHapussiiip...
BalasHapus