Selasa, 18 Juni 2019

Tentang Politik dan Masa Depan Bumi


Pemilu. Cebong. Kampret. Curang.

Setidaknya 4 kata tersebut yang sering berseliweran dan kita dengar serta baca beberapa bulan terakhir. Politik, tentu saja.

Semua pihak saling memaki, menghujat, dan dengan berapi-api merasa paling benar. Tak ada yang mau mengerti bahwa kebenaran di zaman ini adalah relatif. Apa yang Anda baca saat ini adalah relatif.

Betapa miris melihat negara-negara perang yang mendambakan perdamaian, dan kita justru dengan berapi-api menghancurkan negri sendiri.

Kita menyayat luka abadi di punggung saudara sendiri yang membekas hingga hari ini. Kita berduka. Bersedih. Kehilangan. Nyawa, cinta, kepercayaan, persatuan dan begitu banyak 'kehilangan' yang tentu tak dapat seluruhnya disebutkan. Mulai dari tragedi A-Z. Perlukah kita absen?

Anda semua dan saya berdiri pada posisi dan sebagai orang yang berbeda, tentu saja . Saya seorang anak yang sedang belajar. Ada di antara Anda yang merupakan orang tua, anak, saudara atau keluarga dari seseorang. Berasal dari suku, ras dan daerah yang berbeda, berbicara menggunakan bahasa yang berbeda. Berprofesi sebagai pejabat, pebisnis, guru, petani, kuli, pedagang dan masih banyak lagi. Berdiri di sisi kubu 01 dan sebagian lain di kubu 02.

Namun, terlepas dari itu semua, siapakah yang dapat menyangkal bahwa kita berasal dari satu rumah yang sama? Planet Bumi. Dan planet tersebut kini tengah sekarat. Saya hanya merasa, ada kesadaran yang mesti dibagi. Untuk apa memperjuangkan sesuatu yang nanti, tanpa kita sadari justru akan dihancurkan oleh bom waktu yang kita tanam sendiri?

***

Selain menyumbang luka dan air mata, ego kita dan ajang-ajang politik telah turut serta berperan sebagai salah satu pencemar Bumi dengan presentasi cukup besar. Penambah sampah negara tahun ini yang diperkirakan akan mencapai 68 ton.

Gelas-gelas dan botol air mineral sekali pakai sehabis acara kampanye di berbagai tempat yang dihadiri oleh ribuan massa dari kubu-kubu yang berbeda, juga spanduk-spanduk caleg-capres berbagai ukuran di seluruh pelosok negeri, selain dari beberapa persen yang dipungut pemilik warung di jalan-jalan atau tukang rongsokkan. Semua itu akan dikemanakan?

Bagaimana dengan kertas-kertas dokumen atau kartu suara yang sudah tak dipakai lagi setelah pemilihan usai? Berapa banyak pohon yang ditebang untuk memenuhi kebutuhan kertas, meja dan kursi mewah para pemerintah? Lemari dan rak-rak? Buku, majalah, koran? Dan masih saja kita jumpai pertanyaan: “Apa yang kamu lakukan jika melihat temanmu membuang sampah ke sungai?” di buku-buku anak kelas 1 SD.

Berulang-ulang, bukan, kita temui pertanyaan subjektif semacam itu di buku-buku anak? Pertanyaan klise untuk anak baru masuk SD, sekaligus terlalu naif untuk orang dewasa seperti kita yang lebih banyak bersikap apatis. Menolak tahu.

Demi mengikuti sistem soal yang tentunya sudah berkunci jawabab, 90% orang akan menjawab 'menegur' sebagai bukti mereka pernah mengecam pendidikan dan belajar Ilmu Alam. Terlebih lagi, ogah jika dikatai sebagai orang yang tidak peduli lingkungan. Ekshibisi pemahaman dan kesadaran parsial. Dan sungguh, mereka sudah menipu diri sendiri. Enggan mengakui bahwa mereka malas bahkan untuk sekedar memilah mana sampah yang bisa diolah tanah atau membakarnya. Masukkan plastik atau karung. Lempar ke sungai. Plok. Hanyut dan lupakan. Beres. Benar-benar praktis.

Di taman kanak-kanak, di sekolah, anak-anak diajari untuk berbuat baik, menjaga lingkungan, saling menyayangi, bertanggung jawab dan tidak tamak. Namun kenapa yang kita lihat di planet ini, hari ini, justru sebaliknya? Ketika mereka dewasa, intuisi itu hilang. Kesadaran akan kewajiban mereka yang substansial sebagai makhluk paling berakal di Bumi ini, justru ditenggelamkan. Ya, ditenggelamkan. Entah oleh apa.

Barangkali, manusia memang diciptakan sebagai pelupa. Atau makhluk yang tak mau tahu tepatnya.

Setiap tahun, kita kehilangan 68,4000 hektare hutan. 57,000 hektare perbulan. 14,250 hektare perminggu. 2,375 hektare perhari. Dan seterusnya, dan seterusnya. Lantas, berapa binatang-binatang yang harus bersedih, sekarat dan mati karena kehilangan habitatnya? Betapa suara mereka tak pernah terdengar oleh telinga kita.

Ternyata bukan hanya politikus. Bagaimana dengan kita? Yang tamak dan sebentar-sebentar ingin memiliki barang lalu secepat kilat membuang ketika ada yang baru lagi. Membeli lagi. Dan lupa bahwa ada jiwa-jiwa tak berdaya di luar sana yang setiap hari berkutat dengan maut hanya sebab tak ada sesuap nasi.
Kita selama ini membuta tuli terhadap kenyataan bahwa kita memang ‘hobi’ membuang sampah ke sungai atau laut. Setiap hari.

Tenang, 'hanya' sekitar beberapa juta orang. Tidak banyak, bukan? Dan yang lebih hebat lagi, sampah-sampah itu perlu waktu puluhan hingga ratusan tahun untuk musnah.

Maka, selamat! Kita sudah demikian baik merencanakan perubahan bagi Bumi ini agar sesegera mungkin menjadi planet plastik untuk ditinggali anak cucu kita kelak. Dengan sungai limbah dan udara polutan berbau busuk. Sekali lagi selamat! Bayangkan! Betapa hebat kita! Penghasil sampah terbesar kedua di dunia. Ikut andil terhadap kematian 1000 penyu setiap tahun, ribuan burung laut, dan yang terbaru beberapa bulan lalu, Paus Sperma dengan berkilo-kilo sampah di dalam perutnya.

Apa masih ada yang mau berkata tidak pernah menyakiti siapapun? Bagaimana jika yang menyebabkan kematian makhluk-makhluk tak berdosa itu adalah salah satu dari sampah-sampah yang kita buang satu atau dua tahun yang lalu?

Semua sampah itu tidak akan hilang oleh sihir, bukan? Binatang-binatang tak akan hidup kembali, dan hutan tak akan tumbuh kembali dalam hitungan jam, kemudian dengan sukarela menyerahkan dirinya untuk kembali diperkosa manusia.

Tidakkah Anda bingung, kenapa berita politik begitu mendominasi? Tak pernah ada berita perihal keadaan Bumi yang sedang sekarat ini. Betapa jumlah sedotan plastik di lautan yang sudah hampir menyaingi ikan, misalnya. Atau Pacifik Trash Vortex, konsentrasi sampah berukuran gigantis di utara Samudra Pasifik yang 18 tahun pasca penemuannya saja sudah membentang 2 kali luas negara Prancis, lebih besar dari Tembok Besar China, dengan jumlah serpihan plastik 6x lipat jumlah plankton dalam perliter airnya. Apa kabar dia sekarang?

Sungguh, saya tak punya solusi untuk masalah ini. Apakah Anda punya? Pemerintah, barangkali? Jika tidak, marilah kita berpikir sejenak. Marilah kita berhenti merusak. Ayo kita berhenti membenci. Ada yang perlu kita gandeng, ada yang perlu kita cintai, ada yang perlu kita sayangi.

Hidup tidak mudah, memang. Sulit, tentu saja. Karena itulah kita mesti menghargai setiap jengkalnya.

Tidak banyak yang bisa saya ataupun kita lakukan. Tapi jika kita menyadari bahwa Bumi adalah kumpulan negara, negara adalah kumpulan kelompok dan kelompok adalah kumpulan individu, maka kita pun tahu, bahwa segalanya kembali bermuara pada pangkuan kita.

Setidaknya saya meyakini, selama kita tulus, tidak ada yang percuma, sekecil apapun nilainya. Jika orang melihat apa yang anda lakukan adalah 'nol', bukankah justru 'nol' yang menjadikan angka yang semula hanya satu sampai sembilan menjadi tak terhingga?

Saya yakin, siapapun yang menyadari dan melihatnya, pasti akan merasa bahwa batas negara dan segala macam tetek bengek percabangannya tidak lagi berguna. Terlalu banyak manusia yang merasa matanya terbuka, padahal buta. Masa depan Bumi patut kita pertanyakan. Satu-satunya tempat kita tinggal. Tempat kita pulang.

***

Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar